Jumat, 23 Oktober 2009 Pukul 15:53 WIB
Mentawai Pasca Gempa 7,9 SR
Gempa 7,9 SR yang mengguncang Sumbar Rabu 30 September pukul 17.16 WIB tak menimbulkan kerusakan berati di Mentawai. Juga tidak ada korban jiwa ataupun cedera. Namun trauma yang ditimbulkannya tak bisa dianggap enteng, kaum ibu dan anak-anak adalah pihak yang paling merasakannya.
Imran Rusli
Berikut kami sajikan kondisi psikologis masyarakat di beberapa kecamatan, yang dirangkum dari laporan para reporter Puailiggoubat di lapangan, yakni Bambang Sagurung (Siberut Utara), Gerson Merari Saleleubaja (Siberut Selatan), Rapot Pardomuan Simanjuntak (Sipora), Supri Lindra dan Ferdinan Salamanang (Sikakap, Pagai Utara, Pagai Selatan).
Siberut Utara
Gempa tak menimbulkan korban jiwa, korban cedera atau kerusakan berarti di Siberut Utara. Muara Sikabaluan, ibukota kecamatan sama sekali aman dari kerusakan, hanya ada beberapa rumah yang sendinya bergeser, namun tak sampai roboh.
Desa-desa yang agak terpengaruh adalah Monganpoula, Sirilogui, Sirilanggai. Beberapa rumah penduduk lepas dari sendinya, dan sebuah gereja baru di Monganpoula roboh. Lainnya hanya kerusakan kecil.
Masyarakat sempat lari ke pengungsian di perbukitan, tapi bukan karena takut gempa melainkan tsunami. Menurut Misno (47), pengurus AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) Siberut Utara, mereka tidak takut gempa, masalahnya orang-orang tua mereka secara turun-menurun menceritakan bahwa Mentawai memang sering diguncang gempa yang sampai merekahkan tanah, merobohkan pepohonan dan rumah-rumah, tapi mereka tidak takut, biasa saja.
Yang mereka kuatirkan justru tsunami, itupun gara-gara berita tsunami Aceh Desember 2004 yang mereka lihat dan dengar di televisi. Bagaimana air laut naik dan menggulung semuanya. Sebelum tsunami Aceh, kata Misno, mereka tak pernah mengungsi ke perbukitan atau tempat tinggi lainnya. Tenang-tenang saja, paling banter lari ke halaman. Tapi setelah melihat sendiri bagaimana ganasnya tsunami itu dan banyaknya korban yang jatuh mereka sangat ketakutan.
“Masalahnya banyak sekali korban, ada yang satu keluarga sampai kehilangan 15 orang, apa tidak ngeri?” kata Misno.
Masyarakat sempat bermalam semalam di pengungsian yang mudah dicapai karena anyaknya jalur evakuasi. Di pengungsian, sebagian anak-anak masih terlihat ketakutan. Mereka memeluk orang tuanya kuat-kuat dengan lutut tertekuk, melekat ke tubuh orang tuanya seolah tak ingin lepas, sebagian lagi menangis, ada juga yang tetap bermain dan bercanda sesamanya.
Anak-anak yang ketakutan ditenangkan oleh orang tua-tua, dengan membujuk dan mengatakan bahwa kita tidak perlu takut pada gempa karena sudah sering terjadi sejak dulu. Anak-anak tak boleh takut, yang boleh itu waspada. Pokoknya kalau gempa segera menyelamatkan diri ke tempat tinggi, ikuti orang-orang dewasa ke tempat aman, jangan panik atau cemas berlebihan, yang harus kita jaga adalah tsunami, jadi kita menghindar ke bukit bukan karena takut gempa, tapi takut tsunami.
Lama–lama anak-anak mengerti, mulai bisa merasa nyaman dan mencoba tidur. Memang ada juga anak-anak yang begitu ada goyangan sedikit langsung lari ketakutan, tapi segera ditenangkan orang tuanya.
Sebagian anak tidak terlihat takut berangkat ke sekolah pada hari-hari berikutnya, meski mereka terpaksa harus pulang kembali karena sekolah tidak dibuka. Guru-guru banyak yang pulang ke Padang, Painan atau Pariaman untuk mengecek keadaan keluarga masing-masing.
Kaum ibu juga cukup tenang. Hanya ketika gempa mengguncang mereka panik berlarian ke luar rumah menuju tempat tinggi sambil menggendong anak-anak. Selanjutnya mereka mandah saja ke mana suaminya mengajak. Pokoknya ikut saja dengan tindakan dan perbuatan suami. Suami lari ke bukit mereka ikut, suami bertahan di rumah mereka manut.
Hari pertama sesudah gempa mereka juga sudah bisa melepas anak-anaknya ke sekolah dengan alasan anak-anak sudah tahu harus melakukan apa kalau terjadi gempa dan mereka cukup yakin dengan kondisi bangunan di sekolah, namun setiap kali mau berangkat ke sekolah anak-anak diwanti-wanti agar segera melarikan diri ke perbukitan bila gempa mengguncang, lihat-lihat air laut, itu pesan yang lazim terdengar.
“Saya berani melepas anak-anak ke sekolah, karena gempa kemari tak menimbulkan tsunami,” kata Maria (30) seorang ibu di Sikabaluan.
Orang tua lebih menguatirkan anak-anak mereka yang bersekolah atau kuliah di Padang. Mereka sangat panik ketika telepon tidak bisa tersambung ke Padang. Apalagi setelah menyaksikan kehancuran kota itu di televisi. Selama berhari-hari hal ini mengganggu mereka, apakah akan menyuruh anak-anak pulang saja atau membiarkan mereka melanjutkan pendidikan di Padang. Pilihan yang sama-sama tidak mereka inginkan, karena di satu sisi mereka ingin kualitas kehidupan anaknya kelak meningkat berkat pendidikan yang memadai, sementara di sisi lain mereka takut anaknya celaka, bahkan mungkin tewas di Padang.
Pilihan sulit semacam ini sangat mengganggu pikiran para orang tua dan membuat mereka sakit kepala, susah tidur serta jantung berdebar-debar.
Siberut Selatan
Masyarakat tak terlalu kuatir karena guncangan gempa kemarin tidak sekencang gempa tanggal 16 Agustus. Mereka sudah terbiasa. Ibarat minum obat sekali atau tiga kali sehari. Kalaupun mereka lari ke tempat pengungsian di bukit, itu lebih disebabkan oleh ketakutan pada tsunami.
Mereka hanya mengungsi semalam di bukit, padahal pada gempa 16 Agustus mereka sampai berhari-hari di sana, bahkan sekolah dan bekerja dari sana. Setelah yakin tak ada tsunami semua turun lagi dan kembali ke rumah masing-masing. Di Maileppet bahkan tak satupun warga yang mengungsi.
“Soalnya guncangannya tak sekeras gempa 16 Agustus, jadi mereka merasa aman, apalagi setelah melihat air laut tidak naik, sementara gempa 16 Agustus lalu air naik sampai dua meter,” ujar Gerson warga Maileppet.
Ketika gempa 30 September terjadi warga Maileppet memang sempat panik, mereka berhamburan ke luar rumah dan berbondong-bondong lari ke arah perbukitan sambil melihat ke arah laut. Di tempat yang agak tinggi sebelum sampai di lokasi pengungsian mereka menunggu perkembangan sejenak, Setelah dua jam tak ada perubahan yang signifikan di laut mereka turun dan kembali ke rumah masing-masing.
Meski bisa cepat memulihkan situasi, warga tetap waspada akan terjadinya gempa susulan. Untuk menenteramkan perasaan mereka berkumpul di serambi rumah sambil berbagi cerita tentang gempa dan tsunami yang pernah mereka dengar.
Yang agak resah dengan gempa adalah para siswa, terutama siswa SMP 1 dan SMA 1 Muara Siberut. Lauren dan Siska, dua siswa SMA 1 merasa tak tenang belajar karena kondisi bangunan sekolah yang sudah beberapa kali rontok diguncang gempa dan belum mengalami perbaikan. “Setiap kali melihat retakan di dinding atau bagian kayu kelas yang patah perut saya tegang, takut cemas campur aduk rasanya,” kata Lauren.
Ketakutan warga lebih terasa di Muara Siberut. Sesaat setelah gempa terjadi warga berhamburan ke luar rumah dan lari ke tempat-tempat pengungsian di perbukitan. Masalahnya rumah mereka kebanyakan terbuat dari beton. Mereka bertahan di pengungsian sampai pagi. Sebagian lagi malah tetap bertahan di atas, takut tsunami.
Sebagian orang tua mengaku tidak terlalu memikirkan keselamatan sendiri, tapi mereka mencemaskan anak-anaknya. Misalnya Vincentius Ndraha yang punya 4 anak. “Saya lebih suka anak saya di tempat aman, daripada di rumah terancam gempa dan tsunami,” katanya. Karena itu dia dan keluarganya tetap kembali ke pengungsian di malam hari dan kembali ke rumah di siang hari. Namun pikiran Vincent tak bisa lepas dari anak-anaknya.
“Bagaimana lagi, mereka harta saya yang paling berharga,” katanya.
Di SD Santa Maria Muara Siberut ketakutan siswa dan guru agak lebih kentara, karena retakan dan pecahan gedung akibat gempa September 2007 masih menganga dan belum sempat direhab. “Kami kuatir anak-anak dan guru tertimpa reruntuhan, untunglah baik-baik saja,” kata Yustinus Daspon, Kepala SD Santa Maria. Dia juga bersyukur karena sebelum gempa (16 Agustus dan 30 September) sudah menyuruh anak-anak kelas I, II dan III untuk belajar di tenda. “Antisipasi kami tepat, anak-anak yang lebih kecil itu lebih rentan terhadap bahaya,” katanya.
Meski demikian Daspon mengaku tak bisa tenang memikirkan sekolah dan keselamatan murid-murid dan para gurunya.
Di Dusun Toloulago’, Desa Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya Seri Setyowati tak pernah bisa tidur nyenyak di rumahnya. “Kepikiran gempa terus, saya kuatir saya dan keluarga celaka, apalagi cucu saya sedang lincah-lincahnya,” kata istri Kepala SD 05 Katurai ini. Jadi bila malam tiba, Sri mengunci rumahnya dan memboyong keluarganya ke pinggang bukit untuk tidur di tenda.
“Ketika gempa 16 Agustus, kami tidur di tenda sampai awal September, eh baru sebentar di rumah sudah gempa lagi, ya kami pindah lagi ke tenda, entah kapan bisa hidup tenang,” katanya lesu.
Robertus Yenjeu, Kepala SD 05 Katurai di Toloulago’ mengizinkan anak-anak dan guru libur karena kondisi psikologis orang tua murid masih sensitif. “Mereka takut anaknya celaka kalau dipaksa sekolah, mereka bilang apa pak guru berani tanggungjawab kalau terjadi apa-apa dengan anak-anak kami? Ya jelas saya tak berani,” katanya kalem.
Kondisi yang agak beda ditemukan di Tiop. Masyarakat di dusun itu tidak terlalu panik. Mereka menganggap gempa hal biasa yang harus ditanggapi dengan biasa saja.
“Menyelamatkan diri perlu, tapi tidak boleh panik, karena kalau panik malah bisa tak selamat,” kata Matheus Sabolak, Ketua BPD Desa Malilimok yang tinggal di Tiop.
Warga di Tiop mengaku merasa nyaman karena yakin dengan kelaikan rumahnya. “Rumah kami terbuat dari kayu dan tak bertingkat pula, bukan rumah batu bertingkat seperti di Padang, dan gunung-gunung di kampung kami juga tidak curam, sehingga longsor tidak terlalu mudah terjadi,” ujar Herman Sakeletuk, warga lainnya..
Seperti para orang tua di Siberut Utara, orang-orang tua di Siberut Selatan yang punya anak di Padang, Pariaman atau Bukittinggi—bekerja atau sekolah/kuliah—mengaku sangat panik dan tak berdaya ketika jaringan telekomunikasi mati.
Robi (29), salah seorang warga, mengaku tak tenang sejak kejadian gempa itu, pasalnya anggota keluarganya banyak yang tinggal di Padang. \” Entah apalah yang terjadi dengan keluarga saya di Padang, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” katanya sebelum bisa melakukan kontak dengan mereka.
\”Mau kontak sinyal tak ada, bingung saya. Berita di tv membuat jantung berdebar dan keringat dingin keluar, \” katanya.
Agus (40) warga lain menyebutkan panik bukan main ketika melihat besar kerusakan gempa di TV. \” Waduh saya bukan main paniknya mengingat keluarga yang di Padang, mau di kontak lewat hp jaringan mati, dengan telepon rumah walau punya tetangga juga ikut mati \” kata cemas.
Namun kecemasan Agus berakhir sudah ketika keluarganya yang ada di Padang mengontak melalui telepon rumah tetangganya (3//10). \” Lega rasanya mengetahui mereka tak apa-apa \” ungkapnya.
Sementara warga lain juga tak kalah cemasnya, mereka mondar-mandir cari informasi kabar keluarganya yang di Padang. Semakin sering mereka menonton berita korban meninggal yang bertambah TV, rasa gundah semakin menyiksa.
Di Muara Siberut, warga yang tak sabar menunggu kabar dari Padang karena jalur komunikasi lumpuh memilih ke Padang lewat kapal dagang atau boat-boat berbodi panjang.
Setelah jaringan seluler aktif lagi (7/10), warga sibuk menelepon keluarga, inti pembicaraan rata-rata senada, “Kalau bisa pulang saja ke kampung dulu, tunggu situasi tenang.”
Tak ada kerusakan berarti, juga warga yang cedera di Siberut Selatan.
Sipora Utara, Sipora Selatan
Kondisi di Sipora hampir sama. Tak ada kerusakan berarti pada bangunan-bangunan perkantoran, pasar, sekolah, rumah sakit, rumah-rumah ibadah, dan rumah-rumah warga, juga tak ada warga yang cedera, berat atau ringan, semua baik-baik saja, kecuali ibu-ibu dan para pegawai asal tanah tepi.
Ibu-ibu di Dusun Mapaddegat dan Tuapeijat yang terletak di tepi pantai sangat ketakutan ketika gempa berlangsung. Mereka menguatirkan anak-anak, suami, juga orang tua mereka. Banyak yang langsung lari ke tempat tinggi meninggalkan rumah begitu saja, karena takut tsunami. Mereka baru kembali setelah tsunami dipastikan tak terjadi. Namun demikian mereka masih melarang anak-anak jauh-jauh dari mereka, termasuk ke sekolah yang kebetulan juga tidak dibuka karena guru-gurunya banyak yang ke Padang memeriksa keadaan keluarga masing-masing.
Di SP3 ibu-ibu juga pontang panting keluar rumah saat gemnapa terjadi, tapi kemudian bergerombol-gerombol di sudut jalan sambil mendekap atau memegang anak masing-masing. Mereka tidak takut tsunami tapi takut gempa akan merobohkan rumah mereka dan mencederai anggota keluarga. Setelah dua jam barulah ada yang berani masuk rumah.
Di Saureinu’ situasinya serupa. Ketakutan akan bangunan roboh cukup mengemuka karena kuatnya gempa, tapi karena rumahnya terbuat dari kayu mereka dengan cepat memulihkan diri. Tak adsa ancaman tsunami di sini.
Di Sioban ketakutan akan terjadinya tsunami lebih dominan, karena terletak dekat laut. Tapi seperti juga di kawasan Mentawai lainnya, masyarakat cepat pulih karena tak terjadi tsunami. Apalagi bangunan-bangunan yang ada rata-rata selamat dari amukan gempa.
Hal lain yang membuat jantung masyarakat berdebar lebih kencang, keringat dingin mengucur deras, dan kepala sakit adalah terputusnya komunikasi dengan Padang dan kota-kota lainnya di Sumbar daratan.
“Tak bisa menelpon dan mengetahui keadaan sanak saudara di Padang, itu yang lebih menyiksa, sampai sekarang saya masih kepikiran, rasanya ingin menyuruh anak pulang saja, tak usahlah melanjutkan kuliah di Padang,” ujar Esther, warga Tuapeijat yang mengaku punya anak yang kuliah di Universitas Ekasakti (Unes).
Sikakap, Pagai Utara, Pagai Selatan
Ketika gempa Rabu 30 September terjadi masyarakat di Pasar Masabuk sempat histeris, berlarian ke sana ke mari sambil berteriak-teriak minta tolong. Sebagian berlari ke arah Bukit Masabuk, sebagian lagi berputer-putar di sekitar pasar, ada yang tak bisa lari hanya terduduk di tanah dengan mata melotot. Perempuan itu baru pulih setelah gempa mereda, tapi tampaknya masih sangat ketakutan dan tak bisa ditanyai.
Kerusakan fisik bangunan tidak ada, juga orang cedera atau korban jiwa. Cuma ibu-ibu takut melepas anaknya ke sekolah. Kuatir terjadi gempa lagi dan tsunami.
Hari kedua, satu sekolah yakni SD Vincentius tetap buka, tapi tak ada murid yang datang karena ibu mereka tidak mau melepas anak-anaknya. Jadi sekolah tersebut tutup lagi.
Situasi bertambah tak keruan ketika hubungan telepon putus sampai beberapa hari. Mereka menguatirkan anak-anak yang bersekolah atau kuliah di Padang. Ada ibu-ibu yang menangis saja kerjanya dengan telepon di kuping tanpa bisa berbicara apapun. Ada pula keluarga yang sudah mengiklaskan anaknya kalkau memang meninggal dalam kejadian, padahal anaknya masih hidup dan tak kurang suatu apapun.
Kini bahaya kelaparan yang ditakutkan masyarakat Sikakap, dan kedua Pagai. Soalnya sembako langka. Pasokan dari Padang berkurang drastis, termasuk yang dibawa KMP Ambu-ambu Rabu kemarin, sangat sedikit.
Ancaman kekurangan makanan ini menambah pikiran kaum ibu. Ini membuat mereka mudah marah, gampang tersinggung dan uring-uringan. Sebaliknya anak-anak dengan cepat pulih dari trauma dan sudah bermain lagi seperti biasa.
http://puailiggoubat.com/index.php?kanal=berita&kat=3