Daily Archives: November 8, 2010

Masa Tanggap Darurat Diperpanjang

Tsunami Mentawai
Masa Tanggap Darurat Diperpanjang
Senin, 8 November 2010 | 20:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, masa tanggap darurat Mentawai yang berakhir pada Senin ini diperpanjang dua minggu lagi.

“Setelah rencana induk tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi selesai pada minggu pertama Desember, tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu bisa dijalankan pada awal 2011,” kata Armida saat memberikan keterangan pers di kantor Wapres, Senin (8/11/2010). Dalam jumpa pers itu, Armida didampingi Sekretaris Utama BNPB Fatchul Hadi.

Menurut Armida, belajar dari pengalaman gempa dan tsunami lalu, maka lokasi permukiman penduduk akan dijauhkan dari bibir pantai antara 2,5 dan 3 kilometer. Lokasi permukiman juga ditinggikan 15 meter di atas daratan.

“Opsi lainnya, di luar permukiman baru atau akan dibangun escape building di ketinggian 20 meter, yaitu jika terjadi tsunami, penduduk mengamankan diri dulu ke escape building dan setelah aman baru kembali ke permukimannya,” urai Armida.

Armida menambahkan, berdasarkan laporan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, sisa dana cadangan penanggulangan bencana di APBN-P 2010 tercatat tinggal Rp 1 triliun lebih dari sebelumnya Rp 4 triliun.

Adapun Menteri Sosial Salim Segaf Al’Jufrie mengatakan, dana yang diperkirakan untuk tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi Mentawai mencapai Rp 200 miliar.


TSUNAMI MENTAWAI Relokasi Korban Rawan Konflik

TSUNAMI MENTAWAI
Relokasi Korban Rawan Konflik
Senin, 8 November 2010 | 05:10 WIB

Sikakap, Kompas – Rencana relokasi dan rekonstruksi Kabupaten Kepulauan Mentawai harus partisipatif dan menghormati hukum tanah ulayat setempat. Penggabungan 26 dusun menjadi satu atau dua desa relokasi tidak sesuai dengan budaya dan cara hidup orang Mentawai dan justru berpotensi menghasilkan konflik.

Pekerja sosial Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Padang di Paroki Sikakap, Stefanus Frumentes Tokan, menyatakan, pihaknya pernah merelokasi lima dusun pascagempa Mentawai 2007. ”Tidak semua program relokasi berhasil. Ada sejumlah kegagalan dan kesulitan yang kami alami dalam merelokasi warga lima dusun,” kata Tokan di Sikakap, Sabtu (6/11).

Kelima dusun yang direlokasi PSE dan Caritas pascagempa Mentawai 2007 itu adalah Matobe, Bubuakat, Beleraksok, Kosai Baru, dan Mangkaulu. Dusun Matobe dan Dusun Beleraksok adalah dua dusun dari 26 dusun yang kini akan direlokasi.

”Pencarian lokasi relokasi harus disepakati dahulu dengan warga. Jika warga telah memilih lokasi, harus ada dialog dengan Sibakat Lagai, yaitu tokoh masyarakat yang menurut adat merupakan pemangku hak ulayat lokasi relokasi. Jika tidak seizin Sibakat Lagai, relokasi akan rawan konflik,” kata Tokan.

Tokan menyatakan, proyek relokasi 2007 gagal di Dusun Beleraksok dan Bubuakat. ”Di Beleraksok, warga hanya bermalam lokasi relokasi pada Sabtu dan Minggu. Sehingga ketika terjadi tsunami pada hari Senin, 25 Oktober, 25 warga tewas dan empat lainnya hilang. Relokasi Dusun Bubuakat hanya dihuni oleh separuh warga dusun itu. Sisanya bertahan di dusun lama,” kata Tokan.

Salah satu penyebab kegagalan relokasi adalah akses warga terhadap kebun dan laut. ”Relokasi yang berhasil adalah relokasi Dusun Mangkaulu. Kebetulan warga dusun itu berkebun cengkeh dan kelapa di perbukitan sehingga mereka tidak kesulitan jika direlokasi,” kata Tokan.

Terkait wacana pemerintah merelokasi 26 dusun ke dua lokasi di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, pekerja sosial Caritas Perancis di Indonesia, Eloi Bonal, menyatakan, penggabungan dusun tidak sesuai dengan budaya orang Mentawai.

”Masyarakat di Mentawai tidak terbiasa hidup dalam permukiman yang besar. Permukiman yang terdiri dari 72 keluarga seperti di Dusun Bulakmonga pada 2007 sering menimbulkan perselisihan. Dalam budaya Mentawai, perselisihan itu terselesaikan ketika 16 keluarga memutuskan meninggalkan dusun Bulakmonga, membuat dusun baru bernama Ruakmonga,” kata Bonal. (ROW/BIL)


Wasior dan Mentawai Tidak Dilupakan

Bencana Alam
Wasior dan Mentawai Tidak Dilupakan
Senin, 8 November 2010 | 19:18 WIB
 

KOMPAS Images/DHONI SETIAWAN

Menko Kesra, Agung Laksono.

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, pemerintah tidak melupakan bencana yang ada di Wasior dan Mentawai hanya karena terlihat lebih fokus dengan bencana Gunung Merapi.

“Tidak benar jika ada yang mengatakan, pemerintah melupakan Wasior dan Mentawai karena pada kenyataannya penyaluran bantuan tetap berjalan dengan baik untuk kedua daerah itu,” kata Menkokesra di Posko BNPB Yogyakarta, Senin (8/11/2010).

Menurut dia, pelaksanaan tanggap darurat di kedua wilayah tersebut masih dapat dilaksanakan dengan baik dan kini di Wasior sedang dibangun 110 barak untuk menampung sekitar 4.000 masyarakat yang menjadi korban banjir.

Pembangunan barak tersebut dilakukan oleh TNI AD, Marinir, dan juga masyarakat. “Kini sudah dibangun 20 barak. Diharapkan pada 15 November, semua barak sudah selesai,” lanjutnya.

Menko Kesra mengakui, penyaluran bantuan ke Mentawai memang menghadapi sejumlah kendala, seperti cuaca yang buruk.

“Tetapi, dalam dua hari terakhir, cuaca cukup mendukung sehingga distribusi bantuan tetap bisa dilakukan, bahkan hingga ke zona-zona terpencil,” katanya.

Kebutuhan dasar untuk pengungsi juga cukup terpenuhi, baik di posko Padang maupun di Sikakap.

Seperti di Wasior, pemerintah juga tengah membangun hunian sementara bagi korban tsunami di Mentawai dengan lokasi agak jauh dari bibir pantai dan berada di lokasi yang lebih tinggi.

ANT

Sumber :
Editor: Benny N Joewono 

Penyakit Mulai Menghantui Pengungsi

Penyakit Mulai Menghantui Pengungsi
Senin, 8 November 2010 | 04:20 WIB

Sikakap, Kompas – Sejumlah penyakit mulai menghantui pengungsi korban tsunami di Pagai Selatan, Mentawai. Hal ini disebabkan buruknya sanitasi serta ketiadaan air bersih. Di Dusun Bulasat, Desa Bulasat, Pagai Selatan, yang terpantau Sabtu (6/11), sejumlah bocah mulai terserang diare.

Selain diare, penyakit lain adalah infeksi saluran pernapasan atas, atau mag karena pengungsi kebanyakan mengonsumsi mi instan. ”Makanya, lebih baik menyumbang beras, minyak, dan gula. Mi sudah banyak,” ujar Krisman, pengurus Desa Bulasat.

Di Bulasat terdapat sekitar 2.250 pengungsi yang tersebar di sejumlah titik. Untuk mengatasi penyebaran penyakit, Reach Out Worldwide, lembaga bantuan kemanusiaan asal Amerika Serikat, menurunkan seorang dokter, lima paramedis, dan sejumlah tenaga ahli. ”Kami di sini sudah empat hari bekerja setelah sebelumnya terganjal badai,” ujar Lucas Wilmer dari Reach Out Worldwide.

Mereka telah berkeliling ke, antara lain, Bosua, Gobi, Gogoa, Selabu, dan Betumonga. Selain pengobatan, mereka juga menyerahkan ratusan unit alat penjernih air. Selama ini, air minum dan mandi warga didapat dari mengumpulkan air hujan.

Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Barat juga menyerahkan delapan unit alat pengolah air cepat untuk pengungsi di Dusun Muntei Baru-Baru, Pagai Utara, dan Dusun Eruk Paraboat, Pagai Selatan.

Kemarin, ratusan relawan dari berbagai organisasi nonpemerintah meninggalkan Sikakap, posko utama penanganan bencana. Dari sekitar 400 relawan, diperkirakan kurang dari separuh yang bertahan. Para relawan pindah ke Yogyakarta guna membantu pengungsi Merapi yang jumlahnya lebih besar. Padahal, bantuan medis yang fokus pada pemulihan trauma masih minim. Baru PMI yang mengirim tiga psikolog. Mayoritas warga di Pagai juga belum berani ke laut akibat trauma.

Risiko bencana

Keberadaan konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau HPH di Pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara harus dikaji ulang, mengingat rentannya kedua pulau itu terhadap bencana gempa dan tsunami.

Pastor Paroki Keuskupan Padang di Sikakap, FX Hurint Pr, menyatakan, konsesi HPH telah mempersempit ruang gerak penduduk, khususnya untuk membuat permukiman yang aman dari risiko tsunami. Rekonstruksi Kabupaten Kepulauan Mentawai pascatsunami harus mengevaluasi keberadaan konsesi HPH PT Minas Pagai Lumber (MPL).

”Perusahaan menyatakan hanya areal satu kilometer dari kiri-kanan jalan perusahaan yang boleh dipakai masyarakat. Keberadaan HPH harus dikaji ulang karena tingginya risiko bencana di Mentawai,” kata Hurint.

Kepala Bidang Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat Ade Edward, pekan lalu, menyatakan perlunya kejelasan pengelolaan HPH di Pagai Utara dan Selatan. Konsesi itu membuat pemerintah tak bisa memelihara jalan yang dibangun PT MPL dan mempersulit distribusi bantuan lewat darat.

Kepala Pusat Informasi Kehutanan Kementerian Kehutanan Masyhud di Jakarta menyatakan, evaluasi konsesi HPH di lokasi rawan tsunami seperti Kepulauan Mentawai memungkinkan. ”Namun, kita harus memerhatikan izin yang sudah dikeluarkan,” kata Masyhud.

Saat dikonfirmasi di Mentawai, Andre Wibisono, Satuan Pengawas Internal PT MPL, membantah pihaknya menutup akses jalan darat di Kepulauan Pagai. Pihaknya justru mempercepat perbaikan jalan poros yang ada di Pagai Selatan dengan mengerahkan alat berat.

Total HPH yang dikuasai PT MPL mencapai 83.330 ha di Kepulauan Pagai. Luas ini mencakup lebih dari 50 persen total daratan di pulau ini.

Dalam seminar ekologi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, pihaknya tengah menyusun instrumen untuk menjerat kepala daerah dan siapa saja yang terbukti melakukan pembiaran hingga terjadi kerusakan lingkungan. Kemungkinan ada tiga sanksi yang akan dikenakan, yakni administrasi, perdata, dan pidana. (ROW/JON/Bil/WER)


Wapres Minta Tiap Pulau Bangun Landasan

Bencana Mentawai

Wapres Minta Tiap Pulau Bangun Landasan
Senin, 8 November 2010 | 19:59 WIB

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Warga membantu anggota TNI-AD mengangkut bantuan untuk korban tsunami helikopter MI 17, di Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Minggu (31/10) . Untuk mempercepat proses distribusi bantuan dan evakuasi korban luka salah satunya dilakukan melalui udara dengan heikopter antara lain ke di Kampung Tumalei, Desa Silabu Kecamatan Saumanganya yang masih minim bantuan.

JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Presiden Boediono meminta setiap pulau di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, dibangun landasan (air strip) untuk mempermudah jalur transportasi bilamana terjadi bencana lagi. Pembangunan landasan itu diharapkan diintegrasikan saat penyusunan rencana induk (grand design) rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa dan tsunami di Mentawai.

Selain air strip, juga dermaga-dermaga diperbaiki agar jalur udara dan laut mudah ditempuh.
— Kuntoro Mangkusubroto

Demikian disampaikan Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto saat ditanya pers, seusai mengikuti rapat koordinasi yang dipimpin Wapres Boediono di Istana Wapres, Jakarta, Senin (8/11/2010).

“Selain air strip, juga dermaga-dermaga diperbaiki agar jalur udara dan laut mudah ditempuh. Diharapkan rencana ini sudah diintegrasikan dalam rencana induk, yang selesai awal Desember ini,” tandas Kuntoro.

Untuk mengawasi penyelesaian rencana induk tersebut, Kuntoro menambahkan UKP4 diminta ikut membantu.

“Kita ikut membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Menko Kesejahteraan Rakyat yang mengkoordinasi penyusunan rencana induk,” lanjut Kuntoro.

Penulis: Suhartono   |   Editor: I Made Asdhiana 


37 Telepon Satelit untuk Mentawai

Tsunami Mentawai
37 Telepon Satelit untuk Mentawai
Senin, 8 November 2010 | 18:31 WIB

SIKAKAP, KOMPAS.com — Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring memberikan bantuan 37 telepon satelit kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk membantu sarana komunikasi pascatsunami di daerah itu.

“Sebanyak 37 telepon satelit itu telah diserahkan kepada Bupati Mentawai untuk dibagikan kepada para camat dan pihak terkait lainnya di kepulauan ini,” katanya saat kunjungan di Sikakap, Senin (8/11/2010).

Menurut dia, telepon satelit sangat dibutuhkan di daerah kepulauan seperti Mentawai yang sebagian besar masih belum terjangkau layanan komunikasi telepon dan seluler.

“Asal nampak langit, telepon satelit bisa digunakan untuk berkomunikasi,” tambahnya.

“Telepon satelit diberikan kepada Pemkab Mentawai juga untuk mendukung pelaksanaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi daerah ini pascatsunami,” kata Tifatul.

Sebelum menuju Mentawai, Tifatul memimpin penghimpunan dana peduli untuk korban tsunami dari para pengelola stasiun televisi dan penyedia telepon seluler di Indonesia.

Dalam pengumpulan dana selama 30 menit, dana yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 2 miliar. Dana ini akan segera diserahkan kepada Pemkab Mentawai.

 

Sumber : ANT

Pascatsunami Mentawai Tifatul: Komunikasi ke Mentawai Lancar

Pascatsunami Mentawai
Tifatul: Komunikasi ke Mentawai Lancar
Senin, 8 November 2010 | 16:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Menkominfo Tifatul Sembiring mengatakan, komunikasi di Mentawai pascagempa dan tsunami 25 oktober lalu sudah pulih kembali.

Demikian siaran pers yang diterima Kompas dari Tifatul yang sedang berkunjung ke Mentawai, Senin (8/11/2010) bersama rombongan operator telekomunikasi dan industri televisi, termasuk juga Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.

“Alhamdulillah, sistem komunikasi sudah berjalan baik. Kalau ada yang bertanya mengapa hanya Telkom dan Telkomsel yang bisa, ya memang sejak semula yang pasang BTS di Mentawai adalah mereka,” ujar Tifatul.

Namun, Menkominfo menyatakan, untuk wilayah blank spot seluler, Kementrian Kominfo sudah mengirim 37 telepon satelit sumbangan ITU dan menambah jaringan telepon USO sebanyak 47 titik diseluruh Kepulauan Mentawai.

Sebelum berangkat ke Mentawai, Kementrian Kominfo sempat mengadakan acara penggalangan dana dihadapan operator telekomunikasi dan televisi, sehingga terkumpul dana sekitar Rp 2 miliar. Helikopter yang membawa rombongan Menkominfo mendarat di Dusun Munai, Kecamatan Pagai Selatan. Mereka disambut penduduk dan sejumlah anak-anak yang ramai berkerumun. Seluruh bangunan yang ada rata dengan tanah. Kasur, bekas tempat tidur, dan alat-alat rumah tangga tampak berserakan.

Selanjutnya rombongan Menkominfo dan Gubernur masuk ke pedalaman desa Munai, sejauh lebih kurang 3 km. Di sana ada tenda pengungsi yang dibangun dengan seadanya.

Tifatul menyempatkan berdialog dengan korban tsunami. Seorang ibu menuturkan bahwa ia kehilangan 2 anak dan satu orang cucunya. Setelah mendapatkan keterangan dari Kepala Dusun Munai, rombongan melanjutkan perjalanan ke Sikakap, ibu kota kabupaten Kepulauan Mentawai. Tifatul dan rombongan kemudian mengunjungi beberapa pos pengungsi untuk menyampaikan bantuan.


Govt to Write off Disaster Victim’s Credit

Govt to Write off Disaster Victim’s Credit
Senin, 8 November 2010 | 10:41 WIB

AP

Indonesian students ride on a boat as they head to school at Sikakap, on Mentawai Island, in Indonesia, Tuesday, Nov. 2, 2010.

JAKARTA, KOMPAS.com – The government is expected to write off  debts it has provided under the small-holder’s credit (LUR) scheme for the victims of flash floods in Wasior, West Papua, Mt Merapi eruption in Central Java and earthquake/tsunami in Mentawai Islands in West Sumatra.

“We will do our best to write off their KUR debts. The victims of natural disasters in Wasior, Merapi and Mentawai must be freed from their KUR debts,” Minister for Cooperatives, Small and Medium-Scale Enterprises (UKM), Sjarifuddin Hasan, said here on Sunday.

The ministry of cooperatives and UKM will therefore directly take stock in the field of the number of KUR debtors and conduct a cross-check in its data base to ensure the number of KUR recipients who needed to be freed from repayment obligations.

“We will write off their debts and do our best to provide them with another credit so that they would be able to re-activate and recover economic activities in their respective regions,” the minister said.

Three natural disasters, particularly the Mentawai and Merapi ones, are at present in the stage of emergency response where all government agencies and ministries are being mobilized to help provide assistance in accordance with their respective duties and authorities. After that the regions would enter the stage of reconstruction and rehabilitation.

“We will get down there to assist them in recovering their economy and rebuilding their future,” the minister said.

In Mentawai for example, the earthquake and its subsequent tsunami have affected KUM clusters which produced handicraft products and local handicraft souvenirs. In Yoyakarta and Central Java, which were impacted by Mt Merapi eruption, several tourist destination villages which also UKM production centers were affected by the mount eruption.

“We are concerned with the disasters there but we will  make a joint effort to recover the economic activities there so that the wheel of economy would roll on again,” Minister  Sjarifuddin Hasan said.

Besides, the government will also write off the debts of cow breeders who were affected by the eruptions of Mt Merapi in Central Java and Yogyakarta, according to Guritno Kusumo, secretary to the minister for cooperatives and UKM.

“The government will also help repair cooperatives and UMK equipment which was damaged by eruptions,” he said.

The government has also set aside Rp3 trillion for social affairs assistance, which in the past was known as rotating funds.

“The ministry of cooperatives and UKM this year predicts Rp1.2 trillion in rotating funds that could be repaid by cooperatives,” he said.

According to him, recipients of social affairs assistance had no obligation to repay it but the ministry of cooperatives and UMK hoped the funds would be rotated. Head of Industry, Trade and Cooperatives Service of Yogyakarta Astungkoro said that there were two cooperatives which were affected by Merapi eruptions in Sleman, namely the Kaliurang UPP and Sarono Makmur cooperatives.

These cooperatives among others managed cow breeding. He said that there were 325 cows which were killed by the eruptions there, of which 172 belonged to the Kaliurang UPP cooperatives.

“We are still counting losses which had to be borne by the cooperatives and UKM as a result of the mount eruption,” he said. Hopefully this would be compensated by the government.

In the meantime, the Indonesian Native Businessmen Association (HPPI) also called on the government to reschedule the credits it had provided to micro-small and medium-sized businesses (UMKM) which have become the victims of natural disasters, particularly Mt Merapi eruption.

“The government should take a special policy regarding the fate of businesses which are affected by the Mt Merapi eruptions,” Deputy Secretary General of HPPI Herman H Suropo said.

Rescheduling could be imposed in a period of three to six months, or in an unspecified period due to the unpredictable condition of Mt Merapi, which has erupted several times and killed at least 135 people and caused the evacuation of 283,000 others since October 26, 2010.

Herman said that the government needed to issue the policy for the rescheduling of the victims’ credits because it was important for businesses to boost the real sector there in the post disaster period.

Thus, HPPI hailed the government decision to compensate the local people’s  cattle and animals which were killed in in Mt Merapi eruption. The government could also take the same policy for UMKM businesses in the danger zones.

“Hundreds of pondoh zalacca palm farmers, restaurants and home industry businesses in Kaliurang, Yogyakarta, and also hotels within a radius of  20 kilometers from Merapi are affected by eruptions,” Herman said.

He said that based on the idea of the Indonesian Red Cross (PMI) Chairman Jusuf Kalla, the disaster handling should consist of three phases, namely emergency response where the victims must be evacuated and safeguarded, rehabilitation of disaster locations by reconstructing people’s settlements and recovery where businesses and economy in the disaster regions are rebuilt.

“In this case, rescheduling of UMKM credits can be done during the third phase of the disaster handling. The aim is to revive the spirit of UMKM players,” Herman said.

Sumber :antara


Rangkuman Laporan Reporter Puailiggoubat tentang Kondisi masyarakat Mentawai pasca bencana tsunami

Jumat, 23 Oktober 2009 Pukul 15:53 WIB

Mentawai Pasca Gempa 7,9 SR

Gempa 7,9 SR yang mengguncang Sumbar Rabu 30 September pukul 17.16 WIB tak menimbulkan kerusakan berati di Mentawai. Juga tidak ada korban jiwa ataupun cedera. Namun trauma yang ditimbulkannya tak bisa dianggap enteng, kaum ibu dan anak-anak adalah pihak yang paling merasakannya.

Imran Rusli

Berikut kami sajikan kondisi psikologis masyarakat di beberapa kecamatan, yang dirangkum dari laporan para reporter Puailiggoubat di lapangan, yakni Bambang Sagurung (Siberut Utara), Gerson Merari Saleleubaja (Siberut Selatan), Rapot Pardomuan Simanjuntak (Sipora), Supri Lindra dan Ferdinan Salamanang (Sikakap, Pagai Utara, Pagai Selatan).

Siberut Utara

Gempa tak menimbulkan korban jiwa, korban cedera atau kerusakan berarti di Siberut Utara. Muara Sikabaluan, ibukota kecamatan sama sekali aman dari kerusakan, hanya ada beberapa rumah yang sendinya bergeser, namun tak sampai roboh.

Desa-desa yang agak terpengaruh adalah Monganpoula, Sirilogui, Sirilanggai. Beberapa rumah penduduk lepas dari sendinya, dan sebuah gereja baru di Monganpoula roboh. Lainnya hanya kerusakan kecil.

Masyarakat sempat lari ke pengungsian di perbukitan, tapi bukan karena takut gempa melainkan tsunami. Menurut Misno (47), pengurus AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) Siberut Utara, mereka tidak takut gempa, masalahnya orang-orang tua mereka secara turun-menurun menceritakan bahwa Mentawai memang sering diguncang gempa yang sampai merekahkan tanah, merobohkan pepohonan dan rumah-rumah, tapi mereka tidak takut, biasa saja.

Yang mereka kuatirkan justru tsunami, itupun gara-gara berita tsunami Aceh Desember 2004 yang mereka lihat dan dengar di televisi. Bagaimana air laut naik dan menggulung semuanya. Sebelum tsunami Aceh, kata Misno, mereka tak pernah mengungsi ke perbukitan atau tempat tinggi lainnya. Tenang-tenang saja, paling banter lari ke halaman. Tapi setelah melihat sendiri bagaimana ganasnya tsunami itu dan banyaknya korban yang jatuh mereka sangat ketakutan.

“Masalahnya banyak sekali korban, ada yang satu keluarga sampai kehilangan 15 orang, apa tidak ngeri?” kata Misno.

Masyarakat sempat bermalam semalam di pengungsian yang mudah dicapai karena anyaknya jalur evakuasi. Di pengungsian, sebagian anak-anak masih terlihat ketakutan. Mereka memeluk orang tuanya kuat-kuat dengan  lutut tertekuk, melekat ke tubuh orang tuanya seolah tak ingin lepas, sebagian lagi menangis, ada juga yang tetap bermain dan bercanda sesamanya.

Anak-anak yang ketakutan ditenangkan oleh orang tua-tua, dengan membujuk dan mengatakan bahwa kita tidak perlu takut pada gempa karena sudah sering terjadi sejak dulu. Anak-anak tak boleh takut, yang boleh itu waspada. Pokoknya kalau gempa segera menyelamatkan diri ke tempat tinggi, ikuti orang-orang dewasa ke tempat aman, jangan panik atau cemas berlebihan, yang harus kita jaga adalah tsunami, jadi kita menghindar ke bukit bukan karena takut gempa, tapi takut tsunami.

Lama–lama anak-anak mengerti, mulai bisa merasa nyaman dan mencoba tidur. Memang ada juga anak-anak yang begitu ada goyangan sedikit langsung lari ketakutan, tapi segera ditenangkan orang tuanya.

Sebagian anak tidak terlihat takut berangkat ke sekolah pada hari-hari berikutnya, meski mereka terpaksa harus pulang kembali karena sekolah tidak dibuka. Guru-guru banyak yang pulang ke Padang, Painan atau Pariaman untuk mengecek keadaan keluarga masing-masing.

Kaum ibu juga cukup tenang. Hanya ketika gempa mengguncang mereka panik berlarian ke luar rumah menuju tempat tinggi sambil menggendong anak-anak. Selanjutnya mereka mandah saja ke mana suaminya mengajak. Pokoknya ikut saja dengan tindakan dan perbuatan suami. Suami lari ke bukit mereka ikut, suami bertahan di rumah mereka manut.

Hari pertama sesudah gempa mereka juga sudah bisa melepas anak-anaknya ke sekolah dengan alasan anak-anak sudah tahu harus melakukan apa kalau terjadi gempa dan mereka cukup yakin dengan kondisi bangunan di sekolah, namun setiap kali mau berangkat ke sekolah anak-anak diwanti-wanti agar segera melarikan diri ke perbukitan bila gempa mengguncang, lihat-lihat air laut, itu pesan yang lazim terdengar.

“Saya berani melepas anak-anak ke sekolah, karena gempa kemari tak menimbulkan tsunami,” kata Maria (30) seorang ibu di Sikabaluan.

Orang tua  lebih menguatirkan anak-anak mereka yang bersekolah atau kuliah di Padang. Mereka sangat panik ketika telepon tidak bisa tersambung ke Padang. Apalagi setelah menyaksikan kehancuran kota itu di televisi. Selama berhari-hari hal ini mengganggu mereka, apakah akan menyuruh anak-anak pulang saja atau membiarkan mereka melanjutkan pendidikan di Padang. Pilihan yang sama-sama tidak mereka inginkan, karena di satu sisi mereka ingin kualitas kehidupan anaknya kelak meningkat berkat pendidikan yang memadai, sementara di sisi lain mereka takut anaknya celaka, bahkan mungkin tewas di Padang.

Pilihan sulit semacam ini sangat mengganggu pikiran para orang tua dan membuat mereka sakit kepala, susah tidur serta jantung berdebar-debar.

Siberut Selatan

Masyarakat tak terlalu kuatir karena guncangan gempa kemarin tidak sekencang gempa tanggal 16 Agustus. Mereka sudah terbiasa. Ibarat minum obat sekali atau tiga kali sehari. Kalaupun mereka lari ke tempat pengungsian di bukit, itu lebih disebabkan oleh ketakutan pada tsunami.

Mereka hanya mengungsi semalam di bukit, padahal pada gempa 16 Agustus mereka sampai berhari-hari di sana, bahkan sekolah dan bekerja dari sana. Setelah yakin tak ada tsunami semua turun lagi dan kembali ke rumah masing-masing. Di Maileppet bahkan tak satupun warga yang mengungsi.

“Soalnya guncangannya tak sekeras gempa 16 Agustus, jadi mereka merasa aman, apalagi setelah melihat air laut tidak naik, sementara gempa 16 Agustus lalu air naik sampai dua meter,” ujar Gerson warga Maileppet.

Ketika gempa 30 September terjadi warga Maileppet memang sempat panik, mereka berhamburan ke luar rumah dan berbondong-bondong lari ke arah perbukitan sambil melihat ke arah laut. Di tempat yang agak tinggi sebelum sampai di lokasi pengungsian mereka menunggu perkembangan sejenak, Setelah dua jam tak ada perubahan yang signifikan di laut mereka turun dan kembali ke rumah masing-masing.

Meski bisa cepat memulihkan situasi, warga tetap waspada akan terjadinya gempa susulan. Untuk menenteramkan perasaan mereka berkumpul di serambi rumah sambil berbagi cerita tentang gempa dan tsunami yang pernah mereka dengar.

Yang agak resah dengan gempa adalah para siswa, terutama siswa SMP 1 dan SMA 1 Muara Siberut. Lauren dan Siska, dua siswa SMA 1 merasa tak tenang belajar karena kondisi bangunan sekolah yang sudah beberapa kali rontok diguncang gempa dan belum mengalami perbaikan. “Setiap kali melihat retakan di dinding atau bagian kayu kelas yang patah perut saya tegang, takut cemas campur aduk rasanya,” kata Lauren.

Ketakutan warga lebih terasa di Muara Siberut. Sesaat setelah gempa terjadi warga berhamburan ke luar rumah dan lari ke tempat-tempat pengungsian di perbukitan. Masalahnya rumah mereka kebanyakan terbuat dari beton. Mereka bertahan di pengungsian sampai pagi. Sebagian lagi malah tetap bertahan di atas, takut tsunami.

Sebagian orang tua mengaku tidak terlalu memikirkan keselamatan sendiri, tapi mereka mencemaskan anak-anaknya. Misalnya Vincentius Ndraha yang punya 4 anak. “Saya lebih suka anak saya di tempat aman, daripada di rumah terancam gempa dan tsunami,” katanya. Karena itu dia dan keluarganya tetap kembali ke pengungsian di malam hari dan kembali ke rumah di siang hari. Namun pikiran Vincent tak bisa lepas dari anak-anaknya.

“Bagaimana lagi, mereka harta saya yang paling berharga,” katanya.

Di SD Santa Maria Muara Siberut ketakutan siswa dan guru agak lebih kentara, karena retakan dan pecahan gedung akibat gempa September 2007 masih menganga dan belum sempat direhab.  “Kami kuatir anak-anak dan guru tertimpa reruntuhan, untunglah baik-baik saja,” kata Yustinus Daspon, Kepala SD Santa Maria. Dia juga bersyukur karena sebelum gempa (16 Agustus dan 30 September) sudah menyuruh anak-anak kelas I, II dan III untuk belajar di tenda. “Antisipasi kami tepat, anak-anak yang lebih kecil itu lebih rentan terhadap bahaya,” katanya.

Meski demikian Daspon mengaku tak bisa tenang memikirkan sekolah dan keselamatan murid-murid dan para gurunya.

Di Dusun Toloulago’, Desa Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya Seri Setyowati tak pernah bisa tidur nyenyak di rumahnya. “Kepikiran gempa terus, saya kuatir saya dan keluarga celaka, apalagi cucu saya sedang lincah-lincahnya,” kata istri Kepala SD 05 Katurai ini. Jadi bila malam tiba, Sri mengunci rumahnya dan memboyong keluarganya ke pinggang bukit untuk tidur di tenda.

“Ketika gempa 16 Agustus, kami tidur di tenda sampai awal September, eh baru sebentar di rumah sudah gempa lagi, ya kami pindah lagi ke tenda, entah kapan bisa hidup tenang,” katanya lesu.

Robertus Yenjeu, Kepala SD 05 Katurai di Toloulago’ mengizinkan anak-anak dan guru libur karena kondisi psikologis orang tua murid masih sensitif. “Mereka takut anaknya celaka kalau dipaksa sekolah, mereka bilang apa pak guru berani tanggungjawab kalau terjadi apa-apa dengan anak-anak kami? Ya jelas saya tak berani,” katanya kalem.

Kondisi yang agak beda ditemukan di Tiop. Masyarakat di dusun itu tidak terlalu panik. Mereka menganggap gempa hal biasa yang harus ditanggapi dengan biasa saja.

“Menyelamatkan diri perlu, tapi tidak boleh panik, karena kalau panik malah bisa tak selamat,” kata Matheus Sabolak, Ketua BPD Desa Malilimok yang tinggal di Tiop.

Warga di Tiop mengaku merasa nyaman karena yakin dengan kelaikan rumahnya. “Rumah kami terbuat dari kayu dan tak bertingkat pula, bukan rumah batu bertingkat seperti di Padang, dan gunung-gunung di kampung kami juga tidak curam, sehingga longsor tidak terlalu mudah terjadi,” ujar Herman Sakeletuk, warga lainnya..

Seperti para orang tua di Siberut Utara, orang-orang tua di Siberut Selatan yang punya anak di Padang, Pariaman atau Bukittinggi—bekerja atau sekolah/kuliah—mengaku sangat panik dan tak berdaya ketika jaringan telekomunikasi mati.

Robi (29), salah seorang warga,  mengaku tak tenang sejak kejadian gempa itu, pasalnya anggota keluarganya banyak yang tinggal di Padang. \” Entah apalah yang terjadi dengan keluarga saya di Padang, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” katanya sebelum bisa melakukan kontak dengan mereka.

\”Mau kontak sinyal tak ada, bingung saya. Berita di tv membuat jantung berdebar dan keringat dingin keluar, \” katanya.

Agus (40) warga lain menyebutkan panik bukan main ketika melihat besar kerusakan gempa di TV. \” Waduh saya bukan main paniknya mengingat keluarga yang di Padang, mau di kontak lewat hp jaringan mati, dengan telepon rumah walau punya tetangga juga ikut mati \” kata cemas.

Namun kecemasan Agus berakhir sudah ketika keluarganya yang ada di Padang mengontak melalui telepon rumah tetangganya (3//10). \” Lega rasanya mengetahui mereka tak apa-apa \” ungkapnya.

Sementara warga lain juga tak kalah cemasnya, mereka mondar-mandir cari informasi kabar keluarganya yang di Padang. Semakin sering mereka menonton berita korban meninggal yang bertambah TV, rasa gundah semakin menyiksa.

Di Muara Siberut, warga yang tak sabar menunggu kabar dari Padang karena jalur komunikasi lumpuh memilih ke Padang lewat kapal dagang atau boat-boat berbodi panjang.

Setelah jaringan seluler aktif lagi (7/10), warga sibuk menelepon keluarga, inti pembicaraan rata-rata senada, “Kalau bisa pulang saja ke kampung dulu, tunggu situasi tenang.”

Tak ada kerusakan berarti, juga warga yang cedera di Siberut Selatan.

Sipora Utara, Sipora Selatan

Kondisi di Sipora hampir sama. Tak ada kerusakan berarti pada bangunan-bangunan perkantoran, pasar, sekolah, rumah sakit, rumah-rumah ibadah, dan rumah-rumah warga, juga tak ada warga yang cedera, berat atau ringan, semua baik-baik saja, kecuali ibu-ibu dan para pegawai asal tanah tepi.

Ibu-ibu di Dusun Mapaddegat dan Tuapeijat yang terletak di tepi pantai sangat ketakutan ketika gempa berlangsung. Mereka menguatirkan anak-anak, suami, juga orang tua mereka.  Banyak yang langsung lari ke tempat tinggi meninggalkan rumah begitu saja, karena takut tsunami. Mereka baru kembali setelah tsunami dipastikan tak terjadi. Namun demikian mereka masih melarang anak-anak jauh-jauh dari mereka, termasuk ke sekolah yang kebetulan juga tidak dibuka karena guru-gurunya banyak yang ke Padang memeriksa keadaan keluarga masing-masing.

Di SP3 ibu-ibu juga pontang panting keluar rumah saat gemnapa terjadi, tapi kemudian bergerombol-gerombol di sudut jalan sambil mendekap atau memegang anak masing-masing. Mereka tidak takut tsunami tapi takut gempa akan merobohkan rumah mereka dan mencederai anggota keluarga. Setelah dua jam barulah ada yang berani masuk rumah.

Di Saureinu’ situasinya serupa. Ketakutan akan bangunan roboh cukup mengemuka karena kuatnya gempa, tapi karena rumahnya terbuat dari kayu mereka dengan cepat memulihkan diri. Tak adsa ancaman tsunami di sini.

Di Sioban ketakutan akan terjadinya tsunami lebih dominan, karena terletak dekat laut. Tapi seperti juga di kawasan Mentawai lainnya, masyarakat cepat pulih karena tak terjadi tsunami. Apalagi bangunan-bangunan yang ada rata-rata selamat dari amukan gempa.

Hal lain yang membuat jantung masyarakat berdebar lebih kencang, keringat dingin mengucur deras, dan kepala sakit adalah terputusnya komunikasi dengan Padang dan kota-kota lainnya di Sumbar daratan.

“Tak bisa menelpon dan mengetahui keadaan sanak saudara di Padang, itu yang lebih menyiksa, sampai sekarang saya masih kepikiran, rasanya ingin menyuruh anak pulang saja, tak usahlah melanjutkan kuliah di Padang,” ujar Esther, warga Tuapeijat yang mengaku punya anak yang kuliah di Universitas Ekasakti (Unes).

Sikakap, Pagai Utara, Pagai Selatan

Ketika gempa Rabu 30 September terjadi masyarakat di Pasar Masabuk sempat histeris, berlarian ke sana ke mari sambil berteriak-teriak minta tolong. Sebagian berlari ke arah Bukit Masabuk, sebagian lagi berputer-putar di sekitar pasar, ada yang tak bisa lari hanya terduduk di tanah dengan mata melotot. Perempuan itu baru pulih setelah gempa mereda, tapi tampaknya masih sangat ketakutan dan tak bisa ditanyai.

Kerusakan fisik bangunan tidak ada, juga orang cedera atau korban jiwa. Cuma ibu-ibu takut melepas anaknya ke sekolah. Kuatir terjadi gempa lagi dan tsunami.

Hari kedua, satu sekolah yakni SD Vincentius tetap buka, tapi tak ada murid yang datang karena ibu mereka tidak mau melepas anak-anaknya. Jadi sekolah tersebut tutup lagi.

Situasi bertambah tak keruan ketika hubungan telepon putus sampai beberapa hari. Mereka menguatirkan anak-anak yang bersekolah atau kuliah di Padang. Ada ibu-ibu yang menangis saja kerjanya dengan telepon di kuping tanpa bisa berbicara apapun. Ada pula keluarga yang sudah mengiklaskan anaknya kalkau memang meninggal dalam kejadian, padahal anaknya masih hidup dan tak kurang suatu apapun.

Kini bahaya kelaparan yang ditakutkan masyarakat Sikakap, dan kedua Pagai. Soalnya sembako langka. Pasokan dari Padang berkurang drastis, termasuk yang dibawa KMP Ambu-ambu Rabu kemarin, sangat sedikit.

Ancaman kekurangan makanan ini menambah pikiran kaum ibu. Ini membuat mereka mudah marah, gampang tersinggung dan uring-uringan. Sebaliknya anak-anak dengan cepat pulih dari trauma dan sudah bermain lagi seperti biasa.

http://puailiggoubat.com/index.php?kanal=berita&kat=3