Daily Archives: November 10, 2010

JK: Recovery Bencana, Kondisi Paling Berat

JK: Recovery Bencana, Kondisi Paling Berat
“Masa recovery justru 10 kali lebih berat.”
Rabu, 10 November 2010, 17:27 WIB

Eko Priliawito, Ajeng Mustika Triyanti

Jusuf Kalla mengunjungi korban (ANTARA/Saptono)

VIVAnews – Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla memastikan masa pemulihan atau recovery setelah bencana adalah kondisi yang paling berat. Hal ini juga perlu perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat.

Menurutnya, bencana yang  terjadi di tanah air menimbulkan dampak yang tidak sedikit. “Ketahanan masa recovery justru 10 kali lebih berat,” kata Jusuf Kalla, di kantor PMI Rabu 10 November 2010.

Untuk erupsi Merapi, dituturkan JK, ada kurang lebih 300 ribu orang yang pengungsi. Saat ini mereka masih memiliki modal karena masih ada bantuan dari masyarakat. Namun yang harus mendapatkan perhatian bagaimana kondisi masyarakat setelahnya.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta cepat tanggap mengambil keputusan dan tidak mengulangi seperti saat gempa Padang yang memakan waktu hingga setahun. Seperti halnya Padang, erupsi merapi juga menyebabkan pemukiman dan infrastruktur luluh lantak.

Jusuf Kalla juga menambahkan, hingga kini PMI dan masyarakat terus bekerjasama  memulai bantuan tahap 2 (recovery awal). Dimana pada tahap ini, masyarakat harus memulai kehidupan baru dari titik nol.

Hal yang pertama akan dilakukan PMI di Yogjakarta adalah melakukan pembersihan. PMI telah menyiapkan 100 ribu cangkul dan peralatan rumah tangga. Dimana warga bisa langsung menggali kebun mereka, membeli bibit tanaman untuk memulai kehidupan lebih awal lagi.

Sementara untuk perkembangan proses recovery di Wasior, hingga kini PMI masih memiliki dapur umum, dan bantuan ahli psikologis. PMI terus bekerja namun yang bertanggung jawab sepenuhnya atas proses recovery adalah pemerintah.

Gubernur dan bupati juga harus berperan serta dalam proses pemulihan pasca bencana dan penyaluran bantuan. Dan untuk Mentawai, PMI berkomitmen bersama gubernur dan bupati  membangun sebanyak 516 rumah seng, dan uang Rp5 juta rupiah sebagai recovery awal bagi setiap kepala keluarga. Diharapkan sebelum natal sudah dapat terealisasi.

Disampaikan juga sumbangan sebanyak Rp1 miliar dari sebuah perusahaan yang tidak ingin di publikasikan. JK beharap kedepannya masyarakat atau perusahaan lain dapat berkontribusi lebih lagi untuk membantu penanggulan pasca bencana. (umi)

• VIVAnews


DPR Setuju Dana Bencana Rp1,9 T Siap Pakai

DPR Setuju Dana Bencana Rp1,9 T Siap Pakai
Dana ini berbeda dengan anggaran sebesar Rp150 miliar yang sudah siap dicairkan sebelumnya
Rabu, 10 November 2010, 15:30 WIB

Ismoko Widjaya, Suryanta Bakti Susila

VIVAnews – Tiga lokasi bencana di Tanah Air seperti di Wasior, Papua Barat; Mentawai, Sumatera Barat, dan letusan Merapi di DIY-Jawa Tengah, kini bisa mendapat suntikan dana segar. DPR sudah mengetok palu dana penanganan pascabencana sebesar Rp1,9 triliun.

“Awal November lalu, kami setujui Rp1,9 triliun lebih untuk menambah dana pascabencana,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di gedung DPR, Jakarta, Rabu 10 November 2010.

Menurut Priyo, dana ini berbeda dengan anggaran sebesar Rp150 miliar yang sudah siap dicairkan sebelumnya. Dana Rp1,9 triliun ini bersifat on call alias siap pakai kapanpun dibutuhkan.

“Ya kalau darurat, itu (Rp1,9 triliun) harus diambil. Silakan ambil, ini melengkapi yang Rp150 miliar itu,” ujar mantan Ketua Fraksi Golkar ini. Priyo berharap, dana ini bisa membantu bila anggaran penanganan bencana di daerah sudah menipis.

Priyo menekankan, dana ini tidak hanya diperuntukkan bagi tiga wilayah yang baru saja terkena bencana itu. Tetapi juga, wilayah lain yang saat ini membutuhkan dana untuk penanganan pascabencana.

Sementara, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Gondo Radityo Gambiro menegaskan DPR, pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih berkonsentrasi pada penanganan pengungsi korban Gunung Merapi. DPR, pemerintah, dan BNPB belum fokus kepada soal ganti rugi, relokasi, dan rehabilitasi.

“Kami belum memikirkan usulan itu, karena situasi masih darurat. DPR, Pemerintah dan BNPB masih tetap fokus pada masalah penanganan pengungsi yang terus bertambah dan radius pengungsian yang semakin diperjauh,” kata Gambiro.

Pimpinan Tim Pengawas DPR Gunung Merapi untuk wilayah Yogyakarta itu menambahkan, dari pantauannya, situasi yang masih labil itu menjadi faktor utama peningkatan konsentrasi petugas pada masalah pengungsian. “Para pengungsi ini terus bergeser, sesuai instruksi petugas dan pemerintah setempat,” kata dia.

Menurutnya, setelah Gunung Merapi betul-betul dinyatakan aman oleh yang berwenang, barulah kemudian dipikirkan rehabilitasi dan rekonstruksi pemukiman warga. Termasuk di antaranya relokasi pemukiman.

“Jadi untuk saat ini DPR, Pemerintah dan BNPB belum memikirkan wacana relokasi,” kata Gambiro. Alasannya, karena hal itu bukan persoalan mudah karena tidak saja membutuhkan anggaran yang sangat besar, tetapi juga menyangkut kesediaan warga meninggalkan tanah leluhur yang merupakan historis kehidupan warga. (umi)

• VIVAnews


Warga Akan Dapat Rumah dan Tanah

TSUNAMI MENTAWAI
Warga Akan Dapat Rumah dan Tanah
Rabu, 10 November 2010 | 04:02 WIB
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
tinggal di rumah papan kayu di Dusun Beleraksok, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (9/11). Kawasan tersebut merupakan area relokasi bencana gempa pada tahun 2007. Proyek relokasi seperti itu mulai dikembangkan bagi sejumlah dusun yang rawan bencana tsunami di Pagai Utara dan Pagai Selatan.

Tua pejat, Kompas – Relokasi warga pesisir barat Kepulauan Mentawai yang terkena bencana tsunami akan dilakukan secara terintegrasi yang meliputi aspek ekonomi dan sosial. Warga tidak hanya dipindahkan rumahnya, melainkan juga akan diberikan lahan garapan.

”Relokasi bukan hanya memindahkan orang, tetapi juga penghidupannya. Kalau rumah saja yang dipindah, mereka akan balik lagi (ke pesisir),” kata Kepala Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat Ade Edward, Selasa (9/11).

Setelah gempa 2007 di Mentawai, sejumlah kampung di pesisir barat Pagai Utara dan Pagai Selatan pernah dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi. Namun, mereka kembali ke kampung lama untuk mencari kopra dan nilam, misalnya di Dusun Beleraksok, Desa Malakopak, Pagai Selatan.

Untuk itu, pihaknya mengusulkan setiap keluarga mendapat 3-5 hektar lahan di dekat lokasi permukiman baru.

Masalahnya, sebagian besar areal hutan saat ini dikuasai PT Minas Pagai Lumber (MPL) selaku pemegang HPH. Luasnya mencapai 83.330 hektar. ”Sekarang tinggal itikad pemerintah, mau membagi atau tidak,” katanya soal pelepasan HPH.

Satuan Pengawas Internal PT MPL, Andre Wibisono, menyatakan, pihaknya menyerahkan hal itu kepada pemerintah.

Sebelumnya, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengatakan, relokasi harus dilakukan, sedangkan rencana pemberian lahan garapan akan dikaji lebih lanjut.

Endang Suhendar dari Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanganan Bencana mengatakan, relokasi harus ditunjang perbaikan infrastruktur, seperti listrik, air, dan jalan.

Sejumlah titik relokasi telah ditetapkan, antara lain Camp Jaya (Kilometer 27), Km 37, dan Km 46 di Pagai Selatan, Dusun Trans (Km 10) di Pagai Utara.

Pada hari yang sama, sejumlah dusun di pantai timur Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang tidak diterjang tsunami mulai membongkar rumah di pesisir untuk pindah menjauhi pantai. Biayanya dari uang bantuan gempa Mentawai 2007 yang baru dibagikan pekan lalu.

Warga Dusun Guluk-guluk, Desa Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara, Morti Saleleubaja (36), menuturkan, bantuan akhirnya dicairkan pekan lalu setelah warga dari sejumlah dusun berunjuk rasa sebelum terjadi tsunami 25 Oktober lalu. Besarnya Rp 5 juta per keluarga.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Paulinus Sabelp mengakui bantuan itu adalah bantuan gempa Mentawai 2007. (JON/ROW)


Distribusi Terhambat

Distribusi Terhambat
Rabu, 10 November 2010 | 04:46 WIB

PADANG, KOMPAS – Sekitar dua minggu pasca- tsunami di Kabupaten Mentawai, distribusi barang dari Kota Padang ke daerah tersebut masih banyak. Sementara jadwal kapal feri dari Padang ke Mentawai sangat terbatas. Akibatnya, distribusi barang pun terhambat.

Hambatan ini setidaknya tampak di Pelabuhan Busung, Kota Padang, Selasa (9/11). Terdapat satu jadwal pelayaran dari Pelabuhan Bungus tujuan Sikakap pada Selasa kemarin.

Berdasarkan pemantauan, arus barang masih banyak dari Padang tujuan Sikakap. Namun, tidak semuanya bisa masuk ke kapal feri PT ASDP. Mayoritas barang adalah bahan makanan.

Meski kapal feri paling cepat berangkat pukul 15.00, akses barang telah ditutup sejak pukul 13.00.

Menurut Supervisor Lintasan PT ASDP Pelabuhan Busung Suparman, penutupan akses barang disebabkan kapasitas muat kapal telah mencapai ambang batas.

”Karena kapasitas muat kapal sudah dalam ambang batas, kami harus menutup akses. Ini demi keselamatan penumpang,” kata Suparman.

Barang yang belum terangkut ada yang milik warga dan ada pula yang merupakan bantuan bencana. Salah satunya adalah barang bantuan yang diangkut dua mobil dari Tagana, Sumatera Barat.

”Karena barang tak bisa masuk kapal, maka kami sedang mencari kapal lain. Tapi kelihatannya tidak ada. Jadwal paling cepat baru minggu depan,” kata Koordinator Tagana di Padang, Solekhan.

Sementara barang milik warga yang tak terangkut pun menumpuk di Pelabuhan Busung. Barang tersebut pun juga sangat dibutuhkan karena pascabencana, praktis semua kebutuhan pangan Mentawai mengandalkan pasokan dari Padang.

Dalam seminggu, ada tiga jadwal dari Pelabuhan Bungus ke Sikakap.

Sementara untuk yang tujuan Kota Kabupaten Mentawai, Tua Pejat, sebulan hanya ada dua kali pelayaran. Hal sama juga terjadi untuk jadwal ke Siberut.

Dari Sikakap dilaporkan aktivitas belajar-mengajar di sekolah-sekolah di wilayah yang terkena bencana gempa tsunami di Pagai Utara dan Selatan, Mentawai, belum pulih. Hingga kini masih banyak siswa yang belum kembali belajar di sekolah.

Di SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan, satu-satunya SMA di Kepulauan Pagai, suasana di ruang-ruang kelas masih tampak lowong. Sebagian siswa asal daerah-daerah terkena bencana belum kembali ke sekolah untuk belajar.

Dari 657 siswa yang terdaftar di sekolah ini, rata-rata baru 300 siswa per hari selama sepekan terakhir yang hadir di sekolah. ”(Belajar-mengajar) memang belum efektif. Mereka masih di dalam suasana berduka dan sibuk mengurusi keluarganya,” ujar Dewi Sinta Juwita, Kepala SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan.

Waktu belajar-mengajar pun lebih cepat dari biasanya. Siswa- siswa di sejumlah kelas dipulangkan lebih cepat. Dari biasanya sekitar enam jam waktu belajar, kemarin, sejumlah siswa hanya belajar dua jam. Siswa masuk pukul 07.30 WIB, mereka sudah pulang pukul 09.30 WIB.

Pihak sekolah juga terpaksa menggabungkan tiga kelas sekaligus untuk sejumlah mata pelajaran.

”Soalnya, tidak efektif kalau masing-masing, sementara siswanya sedikit,” ujar Dewi kemudian. Namun, dia menampik itu terjadi akibat sejumlah guru masih belum masuk mengajar.

Sebanyak 80 persen siswa di SMAN 1 Pagai Utara dan Selatan yang berada di Sikakap ini berasal dari wilayah terpencil yang sulit dijangkau sehingga sebagian terpaksa indekos di gubuk-gubuk di Sikakap. (LAS/JON)


Konseling Trauma untuk Korban

KESEHATAN
Konseling Trauma untuk Korban
Rabu, 10 November 2010 | 04:47 WIB

Sikakap, Kompas – Kegiatan belajar di Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya daerah yang diterjang tsunami dan gempa, belum pulih. Salah satu yang jadi penyebab adalah para siswa masih trauma.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai Syaiful Jannah di Sikakap, Pulau Pagai Utara, Senin (8/11), mengakui, kegiatan belajar-mengajar belum pulih betul. Pihaknya berencana merelokasi sekolah serta permukiman warga ke tempat yang lebih aman dari ancaman tsunami, yaitu di wilayah yang lebih tinggi.

Menyinggung soal masih adanya siswa yang trauma, ia mengatakan, tim konseling trauma dari Kementerian Pendidikan Nasional sudah berkeliling ke wilayah-wilayah yang terkena bencana selama lima hari. Selain murid, guru-guru juga menjadi sasaran kegiatan ini.

”Keberadaan tim ini sangat baik untuk anak-anak yang terkena trauma atau masih labil akibat bencana tsunami itu,” ujarnya kemudian.

Para siswa dari sejumlah pulau yang belajar di Sikakap mengaku sulit mendapatkan tempat tinggal. Para siswa juga kesulitan untuk membeli buku ataupun tas baru. Mereka juga kesulitan untuk sekadar makan sehari-hari.

Seorang siswa mengaku tidak jarang makan pisang rebus untuk menghilangkan laparnya.

Dengan segala keterbatasan, siswa tidak patah arang. Dorongan siswa untuk bersekolah sangat sederhana.

”Ya, supaya tidak dibodoh-bodohi orang,” ujar seorang siswa. Di desanya, sebagian besar, yaitu lebih dari 50 persen, remaja sebayanya putus sekolah.

Kemiskinan ditambah akses yang sulit telah memupus harapan banyak anak di Mentawai untuk menggapai masa depan lebih baik. Sebagian besar penduduk asli di kepulauan ini bermata pencarian sebagai petani nilam, kopra, dan kakao. (JON)


Evakuasi Korban Terus Dilakukan

TSUNAMI MENTAWAI
Evakuasi Korban Terus Dilakukan
Rabu, 10 November 2010 | 04:59 WIB

Padang, Kompas – Sejumlah korban terjangan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Selasa (9/11), masih terus dievakuasi ke RSUP Dr M Djamil, Kota Padang.

Dua korban yang baru datang pada Selasa itu adalah Jubal Soumatgerat (60) dari Dusun Gobi, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, dan Marius Tatupeket (40) asal Dusun Beriulou, Desa Beriulou, Kecamatan Sipora Selatan.

Keduanya menderita luka-luka akibat terhantam sejumlah benda saat tsunami menyapu habis wilayah permukiman mereka. Dengan demikian, hingga saat ini terdapat 13 pasien korban bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dirawat di rumah sakit tersebut.

Sebagian korban yang dirawat mengalami dislokasi tulang dan menderita sejumlah luka. Selain itu, sejumlah pasien juga mengalami gangguan pada paru-paru akibat kadar air laut yang terminum terlalu banyak.

Marius mengatakan, ia mengalami luka terkena hantaman kayu karena pada saat kejadian relatif tidak ada waktu untuk menyelamatkan diri. ”Pada saat gempa pertama air laut masuk ke dalam rumah dan gelombang itu pecah di tengah permukiman,” kata Marius.

Ketinggian gelombang yang melebihi 10 meter membuat Marius nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menambahkan, tsunami itu pecah setidaknya sebanyak dua kali di tengah permukiman warga dan menyapu apa saja yang ada di atasnya.

Relokasi

Terkait dengan rencana relokasi, pemerintah mulai menyosialisasikan soal itu.

Kepala Dusun Pututukat, Irwan Slamet Tasirileleo (42), menyatakan, Pemerintah Desa Saumanganya telah menyosialisasikan semua dusun di pesisir Saumanganya termasuk dusun yang harus direlokasi. Namun, belum ada kejelasan soal bantuan relokasi rumah pascatsunami 25 Oktober.

Tasirileleo menyatakan, anak usia sekolah di dusunnya dan Dusuk Guluk-guluk bersekolah di SD Negeri 20 Saumanganya di Guluk-guluk. ”Saya belum tahu apakah nantinya SD itu juga akan dipindah jika seluruh warga Guluk-guluk pindah,” ujar Tasirileleo.

Kepala Sekolah Dasar Negeri 20 Saumangnya Stefanus Salamanang menjelaskan, pihaknya belum mengetahui kelanjutan sekolah yang memiliki 95 murid itu.

”Sekolah kami ada di pesisir, dekat dengan pantai. Saya tidak tahu, apakah jika warga Guluk-guluk pindah, sekolah itu akan ikut dipindah atau tidak. Kami mengikuti keputusan pemerintah,” kata Salamanang.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Paulinus Sabelp menyatakan, pada prinsipnya seluruh dusun pesisir di Kabupaten Kepulauan Mentawai akan direlokasi. ”Pilihan lokasi relokasi bergantung kesepakatan warga. Namun soal bantuan relokasi bagi warga di luar 26 dusun yang diterjang tsunami belum ada kepastian,” kata Sabelp.

Sementara itu, penanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tsunami Mentawai, yaitu Deputi II Bidang Penanganan Darurat BNPB Soetrisno, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar Harmensyah sudah tidak lagi berada di Sumbar.

Harmensyah pada Senin mengatakan, Soetrisno sudah ditarik untuk bertugas di kawasan bencana letusan Gunung Merapi, Yogyakarta. (INK/ROW)


Soal Informasi Tsunami Mentawai yang Terlambat

BENCANA
Soal Informasi Tsunami Mentawai yang Terlambat
Rabu, 10 November 2010 | 05:02 WIB

Gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai dua pekan lalu masih menyisakan pertanyaan. Sesaat setelah kejadian tidak ada informasi komplet mengenai gempa di tempat itu. Hingga beberapa jam kemudian pun banyak pihak tak mengetahui yang terjadi di pulau-pulau yang berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia itu.

Hari Selasa (26/10), sehari setelah kejadian, sekitar pukul 10.00, ada acara simulasi bencana tsunami yang digelar di SMA 1 Padang. Di sela acara simulasi tersebut, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat Harmensyah yang ditanya perihal kabar gempa dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai Senin malam menjawab bahwa tak ada korban jiwa serta hanya satu rumah yang rusak. Bahkan gelombang laut disebutkan hanya 30 sentimeter.

Padahal 12 jam sebelumnya, tiga dari empat pulau besar di gugusan Kepulauan Mentawai, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan dihajar tsunami. Bagian pesisir barat pulau-pulau tersebut yang langsung menghadap ke Samudra Hindia terkena dampak paling parah. Lebih-lebih sumber gempa berada di barat daya Pulau Pagai Selatan, pulau yang terletak di ujung sebelah selatan gugusan Kepulauan Mentawai. Sejumlah saksi mata yang selamat mengatakan, tinggi gelombang lebih dari 10 meter, bukan 30 sentimeter seperti yang dikatakan Harmensyah.

Gempa bumi pertama terjadi pada pukul 21.42 hari Senin dengan kekuatan 7,2 skala Richter. Gempa kedua yang terjadi tak lama setelah itu mendatangkan tsunami. Jadi, ketika malam itu ratusan warga di tiga pulau tersebut berjuang menyelamatkan nyawa dari terjangan tsunami, BPBD Sumbar masih belum tahu. Celakanya, sampai 12 jam setelah gempa dan tsunami meluluhlantakkan Kepulauan Mentawai, pejabat seperti Harmensyah sama sekali tak tahu betapa parah dampak bencana di sana. Hanya satu rumah rusak dan gelombang setinggi 30 sentimeter.

Faktanya, lebih dari 400 orang kehilangan nyawa dan ribuan rumah hancur tak bersisa. Saat ini lebih dari 20.000 orang mengungsi dan membutuhkan tempat tinggal sementara yang sangat layak.

Tidak tanggap

Mungkin karena ketidaktahuan dan tak tanggapnya lembaga yang seharusnya bertanggung jawab terhadap mitigasi bencana seperti BPBD, maka ketika bencana betul-betul memberi dampak luar biasa, mereka seperti kewalahan. Dua minggu setelah gempa, koordinasi terhadap penanganan pascabencana tak jelas. Padahal ada lebih dari 200 lembaga kemanusiaan, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik lokal maupun internasional, badan dunia dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga perwakilan sejumlah perusahaan swasta dan BUMN turut terlibat dalam membantu penanganan pascabencana. Ini belum termasuk relawan kemanusiaan yang datang berkelompok ataupun individual yang datang ke Mentawai. Semuanya datang dengan tulus ikut membantu.

Akibatnya jelas, ketiadaan koordinasi membuat penanganan pascabencana kacau balau. Staf Komunikasi PMI di Mentawai, Fitriana Sidikah, mengakui, banyak sekali terjadi tumpang tindih dalam pemberian bantuan ke korban. Akibatnya, bantuan bisa salah sasaran.

Salah seorang relawan PMI mengatakan, sempat terjadi bantuan makanan hampir diberikan kepada korban yang telah menerima bantuan sejenis dengan jumlah cukup untuk bertahan hingga sebulan. Bahkan beberapa hari setelah tsunami menerjang, masih banyak korban yang belum tersentuh bantuan.

Saat jumpa pers hari Rabu pekan lalu, Harmensyah menyalahkan fasilitas komunikasi yang tak memadai sebagai penyebab telatnya informasi soal gempa dan tsunami di Mentawai.

Apa pun alasannya, ketidaksigapan BPBD Sumbar membuat penanganan bencana di Mentawai kacau. (KHAERUDIN)


Rotary Sumbang 1.000 ShelterBox

Rotary Sumbang 1.000 ShelterBox
Rabu, 10 November 2010 | 17:59 WIB

dokumentasi Rinastiti

Pembagian Tas Untuk Merapi pada anak-anak pengungsi

JAKARTA, KOMPAS.com Rotary, salah satu organisasi kemanusiaan terbesar di dunia, tengah menggalang dana dari berbagai pihak untuk disalurkan ke daerah bencana di Indonesia. Bahkan, Rotary telah mendistribusikan bantuan ke tempat-tempat pengungsian di lokasi korban tsunami Mentawai dan korban letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah.

“Tim kami bekerja siang dan malam dalam membagikan kebutuhan pokok, seperti makanan, minuman, air, obat-obatan, dan masker yang merupakan bantuan awal kepada para pengungsi di lokasi bencana,” ungkap Aloysius Purwa, anggota Rotary Club Bali Kuta sekaligus pemrakarsa bantuan, Rabu (10/11/2010) di Jakarta.

Aloysius mengatakan, bantuan internasional pertama yang mencapai korban gempa tsunami antara lain ShelterBox. Setiap ShelterBox dapat digunakan oleh keluarga besar beranggotakan 10 orang serta dilengkapi tenda dan peralatan penting untuk keperluan hidup sehari-hari selama korban masih dalam pengungsian.

Dia menambahkan, sejauh ini tim tanggap ShelterBox telah membagikan 400 ShelterBox dan masih akan terus bertambah. “Anggota Rotary sudah mulai mengumpulkan dana untuk menyerahkan bantuan lebih dari 1.000 ShelterBox,” tuturnya.

Anggota Rotary Club Bali Kuta mengatakan, pengalaman dan pengetahuan Rotary Club lokal sangat penting dalam memastikan bahwa sumber daya digunakan untuk proyek-proyek dan program-program yang membahas kebutuhan komunitas.

Selama ini, Rotary merupakan bagian integral dari masyarakat di lebih dari 200 negara dan wilayah geografis, termasuk di 89 klub dan 1.575 anggota di Indonesia. “Anggota Rotary Club dari Jakarta membantu pemerintah berkomunikasi dengan Tim Tanggap ShelterBox sehingga tim dapat memberi kotak tepat waktu dan efisien,” katanya.

Mengenai Rotary, Aloysius menambahkan bahwa klub ini merupakan organisasi dunia para pemimpin bisnis dan profesional yang memberikan layanan kemanusiaan dan membantu menggalang niat baik serta perdamaian di dunia. Jumlah anggota Rotary di seluruh dunia kini mencapai sekitar 1,2 juta pria dan wanita pada lebih dari 33.000 klub Rotary di lebih dari 200 negara dan wilayah geografis.

Penulis: Haryo Damardono   |


Pascatsunami PMI Bantu Bangun 516 Rumah di Mentawai

Pascatsunami
PMI Bantu Bangun 516 Rumah di Mentawai
Rabu, 10 November 2010 | 17:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Palang Merah Indonesia (PMI) menyatakan siap membantu pemulihan bencana tahap awal dan tahap dua di sejumlah daerah bencana. Ketua PMI Pusat Jusuf Kalla menyampaikan, untuk membantu tahap pemulihan bancana di Mentawai, pihaknya akan membantu pembangunan 516 rumah serta memberi sumbangan dana Rp 5 juta untuk setiap rumah.

“Kami akan bantu bangun 516 rumah, memberikan seng, dan uang Rp 5 juta. Yang kerja (bikin rumah) rakyat sendiri,” ujar Jusuf Kalla atau JK dalam jumpa pers di kantor PMI Pusat, Jakarta, Rabu (10/11/2010).

JK mengatakan, diharapkan sebelum Natal, pada bulan November, pengerjaan pembangunan rumah tersebut sudah dapat dilakukan. Selain itu, PMI akan membantu pemulihan bencana di wilayah bencana erupsi Gunung Merapi dengan menyumbang 100.000 cangkul untuk membersihkan permukiman penduduk dari abu vulkanik. “Recovery awal dengan mempersiapkan 100.000 cangkul dan peralatan rumah tangga,” katanya. PMI juga siap membantu membetulkan atap rumah, memberikan peralatan gali kubur, dan bibit tanaman kepada korban bencana. “Untuk jangka panjangnya kami serahkan ke pemerintah,” pungkas JK.

Adapun tahap pemulihan bencana di sejumlah daerah korban bencana, menurut JK, akan lebih berat dibanding masa penanganan pengungsi. Pada masa pemulihan bencana, sumbangan dana dari berbagai pihak akan berkurang. Sementara ratusan ribu pengungsi harus kembali ke rumah, kehidupan mereka dihidupkan kembali. “Bencana Merapi memang besar, tapi lebih besar lagi recovery-nya, recovery dalam arti bagaimana kehidupan 300.000 orang yang mengungsi itu bisa hidup kembali lagi,” katanya.

“Dalam kondisi itu pemerintah tentu harus tetap siap dan masyarakat diharapkan tetap concern (perhatian) juga,” imbuh JK.

Penulis: Icha Rastika   |   Editor: Erlangga Djumena 

YDKK Sudah Bantu Rp 1,5 Miliar


YDKK Sudah Bantu Rp 1,5 Miliar
Laporan wartawan KOMPAS M Nasir
Rabu, 10 November 2010 | 16:09 WIB

 

JAKARTA, KOMPAS.com- Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (YDKK) yang merupakan perpanjangan tangan dari program kemanusiaan Kompas akan membangun kembalai sejumlah gedung yang selama ini menjadi layanan masyarakat, dan ratusan rumah di tiga kawasan.

 

Ketiga kawasan itu adalah pertama kawasan yang luluh lantak akibat letusan Merapi, gempa dan tsunami di kepulauan Mentawai, serta banjir bandang di Wasior.

 

Pelaksanaan pembangunan kembali bangunan publik dan rumah penduduk akan segera dilakukan setelah tanggap darurat selesai. Pihak DKK akan segera berkonsultasi dengan pemerintah setempat untuk menentukan lokasi mana yang boleh dibangun kembali, dan mana yang tidak boleh.

 

Dapur umum sendiri

 

Sementara ini, untuk melaksanakan penanggulangan tanggap darurat bagi ribuan pengungsi Merapi, tim DKK bersama Kompas Biro Yogyakarta, Toko Buku Gramedia, dan karyawan hotel Santika Yogyakarta menyebarkan bantuan berbagai kebutuhan pengungsi sejak gelombang pengungsi Merapi meningkat.

 

Berbagai bantuan yang berasal dari pembaca Kompas sudah disalurkan ke berbagai posko, baik berupa barang seperti selimut, sarung, pakaian dalam, handuk, peralatan mandi, beras, minyak goreng, lauk-pauk, dan buah-buahan,  obat-obatan, serta berupa uang.

 

Bantuan tanggap darurat yang telah disalurkan untuk pengungsi Merapi sementara ini sekitar Rp 500 juta. Bantuan yang tersalur ini diluar dapur umum yang dianggarkan tersendiri Rp 700 juta.

 

Penyaluran bantuan berupa uang hanya dilakukan di sejumlah posko untuk membeli bahan pangan untuk dapur umum pengungsi. “Kami sebelum membuat dapur umum sendiri telah membagi-bagikan bantuan berupa uang ke tempat-tempat pengungsian guna membeli bahan makanan yang dimasak di dapur umum mereka,” kata  Thomas Pudjo Widyanto, Kepala Biro Kompas Yogyakarta yang membantu penyebaran bantuan pembaca di Kompas, Senin (8/11).

 

Bahkan Tim DKK, kata Thomas Pudjo, juga membeli nasi bungkus dari dapur umum, untuk dibagi-bagikan kepada pengungsi. Namun kini DKK membangun dapur umum sendiri untuk mensuplai makanan pengungsi. Dapur umum yang didirikan DKK bersama Kompas-Gramedia, berlokasi di Gedung Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto

Tanggap darurat Wasior

 

Tim DKK juga telah menyalurkan bantuan tanggap darurat ke korban banjir bandang di Wasior. Bantuan yang disalurkan juga berupa ribuan selimut, sarung, pakaian, dan pangan. Jumlah bantuan tanggap darurat untuk Wasior senilai Rp 250 juta. Tim DKK akan melanjutkan kegiatan di Wasior dengan merehabilitas sejumlah bangunan publik.

 

Sementara untuk Mentawai, DKK melakukan bakti sosial bersama TNI-AL. DKK akan mensuplai obat-obatan yang dibutuhkan dalam penanggulangan kesehatan pengungsi. DKK juga akan membantun kembali fasilitas umum yang rusak di Mentawai.

Editor: Marcus Suprihadi